Ditulis oleh: Aditya Nugroho Sebelum laga
melawan Irak berlangsung, Indonesia secara matematis memang masih
memiliki peluang untuk menduduki setidaknya peringkat ke-2 dalam
Kualifikasi Pra Piala Asia 2015. Ini pun dengan catatan Cina terus
mengalami kekalahan dalam dua laga sisa mereka. Jadi, Indonesia memang
masih memiliki alasan untuk terus bermain
all-out dalam dua laga sisa, termasuk menghadapi Irak Selasa (19/11) malam WIB.
Pelatih
Jacksen F. Tiago menurunkan formasi 4-3-3, dengan kuartet bek Benny
Wahyudi, M. Roby, Fakhrudin dan Ruben Sanadi. Diturunkannya Fakhrudin
memang antisipasi dari ketiadaan Victor. Di lini tengah, trio M. Taufik
dan Ahmad Jufriyanto diposisikan lebih bertahan sementara Raphael
Maitimo ditempatkan lebih ke depan. Mereka menyokong lini depan yang
diisi kapten Boaz Solossa, Samsul Arif dan Zulham Zamrun.
Indonesia
sebetulnya mampu memulai laga dengan positif. Boaz dan Zulham yang
beroperasi di sisi sayap banyak merepotkan barisan pertahanan Irak lewat
kecepatan dan aksi individu yang mereka lancarkan. Hal ini membuat lini
pertahanan Irak gugup dan kerap membuat kesalahan yang membuat bola
dicuri oleh para pemain Indonesia. Namun kurang patennya kombinasi
serangan yang dilakukan Indonesia di daerah sepertiga lapangan lawan,
plus klaim penalti yang tidak digubris wasit membuat momentum positif
tersebut menguap, lalu memberi peluang bagi Irak untuk menguasai laga.
Irak
sebetulnya lebih banyak melambungkan bola dari belakang maupun lewat
umpan diagonal bek sayap mereka untuk membongkar pertahanan Indonesia
yang kehilangan sosok Igbonefo. Irak lalu melanjutkan taktik mereka
dengan menempatkan lebih banyak pemain-pemain mereka di daerah
pertahanan Indonesia. Strategi ini berhasil menggerakkan pemain-pemain
Indonesia untuk lebih banyak berkumpul di sentral pertahanan.
Terlalu
fokusnya pertahanan Indonesia pada sisi sentral memberi ruang di sisi
sayap yang kemudian dieksploitasi oleh pemain-pemain Irak. Gol pertama
yang mereka ciptakan jelas terjadi akibat ruang kosong yang menganga di
sisi kanan pertahanan yang ditempati Benny Wahyudi. Umpan silang yang
kemudian dikonversi sundulan Ahmed Abdullah menjadi gol ini mengubah
kedudukan menjadi 1-0 untuk tim tamu, menunjukkan dengan jelas betapa
pemain belakang Indonesia terlalu terpaku pada bola. Skenario gol ini
memang mirip dengan yang dilakukan Cina ketika membobol gawang
Indonesia.
Kebobolan satu gol rupanya malah menurunkan
konsentrasi lini pertahanan dan sedikit mengacaukan kordinasi. Hanya
berselang enam menit dari gol pertama, Indonesia kembali kebobolan
setelah M. Roby dinilai melakukan pelanggaran di kotak penalti. Eksekusi
yang dilakukan oleh Kerrar Jasim sebetulnya mampu dibaca arahnya oleh
penjaga gawang Made Wirawan, namun bola yang terlalu deras menyulitkan
Made untuk mengantisipasi.
Jacksen lantas melakukan pergantian
pertamanya ketika laga babak pertama belum usai. Supardi masuk
menggantikan Benny Wahyudi, yang memang dianggap sebagai titik lemah di
lini pertahanan. Masuknya Supardi memang memberi alternatif serangan
karena pemain ini memiliki agresivitas yang lebih tinggi. Kehadiran
Supardi juga membuat laga berlangsung lebih terbuka, dengan momentum
positif berada di pihak Indonesia. Lubang yang ditinggalkan Supardi saat
ia naik membantu serangan juga mampu dilapis dengan baik oleh Taufik.
Kombinasi yang kerap dilakukan Supardi dengan Boaz juga mampu memaksa
para gelandang Irak untuk turun membantu pertahanan mereka.
Pergantian
kembali dilakukan Jacksen jelang babak pertama usai. Zulham Zamrun,
pemain yang kerap merepotkan pertahanan Irak lewat dribel jarak
pendeknya ditarik keluar untuk digantikan Titus Bonai. Masuknya Tibo
menunjukkan betapa Jacksen berusaha membalas gol dengan cepat, karena
dengan kecepatannya, Tibo memang kerap berperan sebagai seorang pengubah
arah permainan.
Irak melanjutkan momentum positif mereka pada
awal babak kedua. Umpan-umpan silang maupun skema bola mati kerap mereka
manfaatkan dan menghasilkan peluang emas setelah sundulan Abdullah
menerpa mistar gawang. Namun setelah momen tersebut pemain-pemain
belakang Indonesia tampil lebih disiplin dengan konsentrasi yang tinggi.
Kedisiplinan lini belakang tersebut memberi jalan bagi
Indonesia untuk bangkit. Pemain-pemain Irak juga lebih banyak menunggu
di daerah pertahanannya untuk kemudian melancarkan serangan balik.
Mereka kemudian bertahan dengan rapat, hingga dua bek sayap mereka yang
pada babak pertama kerap naik, kini di babak kedua cenderung statis di
belakang. Namun kurang tenangnya penyelesaian akhir dan sering
terlambatnya dukungan dari lini kedua membuat Indonesia gagal menipiskan
ketertinggalan sehingga skor 0-2 tetap bertahan untuk tim tamu Irak
hingga usai laga.
Kekalahan ini praktis menghabisi peluang
Indonesia untuk lolos ke Piala Asia 2015, sekaligus memastikan Indonesia
duduk di dasar klasemen karena apapun hasil laga terakhir melawan Arab
Saudi yang akan berlangsung pada Maret 2014 tidak akan mengubah posisi
di klasemen. Kegagalan lolos ke Piala Asia ini juga mengulangi kegagalan
sebelumnya kala Indonesia gagal lolos ke Qatar 2011.
Dua
kegagalan lolos secara beruntun ke turnamen besar ini tentu saja bukan
pencapaian yang baik. Namun menimpakan kesalahan semata kepada tim
nasional senior lalu membanding-bandingkannya dengan pencapaian yang
diraih tim nasional U-19 juga bukan hal yang bijak untuk dilakukan,
karena tim nasional senior inilah yang menjadi representasi sesungguhnya
wajah sepak bola Indonesia di dunia internasional. Bagaimana cara tim
nasional senior bermain tercermin dari bagaimana kompetisi nasional
bergulir dan bagaimana pembinaan pemain yang dilakukan.
Semoga
kegagalan ini menjadi cambuk bagi pengurus PSSI untuk terus memperbaiki
mutu kompetisi dan menjalankan program pembinaan yang lebih matang di
masa depan.